Jumat, 22 Mei 2009

Menegur pemimpin perlu dilakukan secara bijaksana

Oleh Mohd Yaakub Mohd Yunus

KEWUJUDAN kepemimpinan yang stabil bagi sesebuah negara dilihat sebagai satu aspek penting dalam Islam. Tanpa kepemimpinan yang positif dan ikhlas berjuang, kepentingan rakyat tidak akan mampu ditadbir dengan baik.
Apabila masyarakat dibiarkan tanpa pemimpin nescaya keadaan akan menjadi huru-hara di mana golongan kuat menindas yang lemah. Tanpa pemimpin, undang-undang rimba akan ditegakkan dan kezaliman bermaharajalela.
Justeru, urusan kepemimpinan adalah antara satu dasar utama dalam Islam. Firman Allah yang bermaksud: "Allah menjanjikan orang yang beriman dan beramal salih daripada kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahawa Dia akan menjadikan mereka khalifah yang memegang kuasa pemimpin di bumi, seperti Dia menjadikan orang sebelum mereka khalifah yang berkuasa." (Surah al-Nur, ayat 55)

Lantaran itu, Islam meletakkan beberapa dasar penting bagaimana rakyat perlu berinteraksi dengan pemimpin yang berkuasa dalam sesebuah negara demi menjamin kestabilan politik serta kemakmuran masyarakat.
Ketaatan kepada pemimpin adalah satu dasar yang pokok. Firman Allah yang bermaksud: "Wahai orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kamu." (Surah al-Nisaa', ayat 59)
Namun, Islam hanya menetapkan kewajipan untuk mendengar dan taat kepada pemimpin selagi mana pemimpin itu tidak menyuruh membuat perkara berunsur maksiat.

Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud: "Diwajibkan mendengar dan taat (kepada pemimpin) ke atas setiap Muslim sama ada dalam hal yang dia suka atau benci selagi mana dia tidak diperintah untuk melakukan maksiat. Jika dia diperintah melakukan maksiat maka tidak wajib untuk mendengar dan tidak wajib taat." (Hadis riwayat Bukhari)
Jika pemimpin memerintahkan untuk melakukan perbuatan bertentangan syarak, yang diingkari hanyalah perbuatan itu akan tetapi kesetiaan kepada pemimpin tetap perlu diteruskan.
Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud: "Ketahuilah! Sesiapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin lalu dia melihat sesuatu kemaksiatan kepada Allah (yang dilakukan oleh pemimpin itu), maka bencilah kemaksiatan kepada Allah itu. Akan tetapi jangan menarik ketaatannya (kepada pemimpin itu)." (Hadis riwayat Muslim)
Jika pemimpin melakukan kesalahan maka hendaklah mereka dinasihati dengan cara baik berbekalkan niat untuk membawa kebaikan kepada masyarakat keseluruhannya tanpa ada motif lain. Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan Rasulullah SAW menyenaraikan tiga perkara yang Allah reda untuk diamalkan bagi hamba-Nya yang mana salah satu darinya adalah: "Kalian menasihati orang yang Allah angkat menjadi pemimpin atas urusan kalian."

Menasihati atau menegur pemimpin tidak boleh dilakukan secara terbuka, dengan kata berbentuk cacian dan menghina atau tujuan menanam perasaan benci di kalangan masyarakat terhadap pemimpin itu. Hendaklah kita sedari pemimpin adalah manusia biasa yang ada kalanya melakukan kesilapan dalam menguruskan urusan pentadbiran.
Namun, jika pemimpin melakukan kesilapan ia bukan bererti kita dibenarkan untuk mencela secara terbuka tetapi hendaklah menasihatinya dan memperjelaskan kesalahannya dengan cara penuh hikmah.
Rasulullah SAW menunjukkan contoh cara menasihati pemimpin melalui sabda yang bermaksud: "Sesiapa yang ingin menasihati pemimpin dalam sesuatu urusan, janganlah dia melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah dia mengambil tangan pemimpin itu dan ajaklah (nasihatilah) dia secara tersembunyi. Jika dia (pemimpin) menerima (nasihat itu) maka itulah yang diharapkan. Jika dia tidak menerima (nasihat) maka sesungguhnya dia (pemberi nasihat) sudah melaksanakan tanggungjawabnya." (Hadis riwayat Ahmad)
Menerusi prinsip ini, bukan bermakna umat Islam hanya membisu apabila kemaksiatan atau kezaliman seperti rasuah, kronisme dan penyalahgunaan kuasa berlaku dengan alasan ia berpunca daripada pihak pemimpin. Maksiat serta kezaliman tetap perlu diingkari dan diperjelaskan secara umum kepada masyarakat bahawa perkara itu bertentangan syarak dan terlarang.
Pemimpin yang ingkar terhadap maksiat sudah diberitahu Rasulullah SAW menerusi bimbingan wahyu Ilahi dan Baginda menyuruh umat Islam untuk taat kepada pemimpin itu selagi mana dia adalah seorang Muslim dan tidak wujud tanda jelas bahawa dia kafir daripada agama Islam.
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: "Akan ada sepeninggalanku nanti pemimpin (yang) kalian mengenalnya dan mengingkari (kejelekannya), maka barang siapa mengingkarinya (bererti) dia sudah berlepas diri, dan barang siapa membencinya (bererti) dia sudah selamat, akan tetapi barang siapa yang meredainya (akan) mengikutinya. Sahabat bertanya: Apakah tidak kita perangi (saja) dengan pedang? Baginda menjawab: Jangan, selama mana mereka masih menegakkan solat di tengah-tengah kalian." (Hadis riwayat Muslim)
Demikianlah beberapa prinsip bagaimana umat Islam harus berurusan dengan pemimpin demi mencapai kestabilan politik dan kesatuan umat yang menjadi faktor penting dalam membentuk umat Islam yang kuat dan digeruni musuh. Perpecahan hanya akan melemahkan umat Islam dan menggembirakan musuh Allah.

Agama Langit dan Agama Bumi: Sebuah Dikotomi

Oleh I Made Yanuarta

Ada berbagai cara menggolongkan agama-agama dunia. Ernst Trults seorang teolog Kristen menggolongkan agama-agama secara vertikal: pada lapisan paling bawah adalah agama-agama suku, pada lapisan kedua adalah agama hukum seperti agama Yahudi dan Islam; pada lapisan ketiga, paling atas adalah agama-agama pembebasan, yaitu Hindu, Buddha dan karena Ernst Trults adalah seorang Kristen, maka agama Kristen adalah puncak dari agama-agama pembebasan ini.
Ram Swarup, seorang intelektual Hindu dalam bukunya ; “ Hindu View of Christianity and Islam” menggolongkan agama menjadi agama-agama kenabian (Yahudi, Kristen dan Islam) dan agama-agama spiritualitas Yoga (Hindu dan Buddha) dan mengatakan bahwa agama-agama kenabian bersifat legal dan dogmatik dan dangkal secara spiritual, penuh klaim kebenaran dan yang membawa konflik sepanjang sejarah. Sebaliknya agama-agama Spiritualitas Yoga kaya dan dalam secara spiritualitas dan membawa kedamaian.
Ada yang menggolongkan agama-agama berdasarkan wilayah dimana agama-agama itu lahir, seperti agama Semitik atau rumpun Yahudi sekarang disebut juga Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan agama-agama Timur (Hindu, Buddha, Jain, Sikh, Tao, Kong Hu Cu, Sinto). Ada pula yang menggolongkan agama sebagai agama langit (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan agama bumi (Hindu, Buddha, dll) Penggolongan ini paling disukai oleh orang-orang Kristen dan Islam, karena secara implisit mengandung makna tinggi rendah, yang satu datang dari langit, agama wahyu, buatan Tuhan, yang lain lahir di bumi, buatan manusia. Penggolongan ini akan dibahas secara singkat di bawah ini.

Agama bumi dan agama langit
Dr. H.M . Rasjidi, dalam bab Ketiga bukunya “Empat Kuli y ah Agama Islam Untuk Perguruan tinggi” membagi agama-agama ke dalam dua kategori besar, yaitu agama-agama alamiah dan agama-agama samawi. Agama alamiah adalah agama budaya, agama buatan manusia. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah agama Hindu dan Budha. Mengenai agama Hindu Rasjidi mengutip seorang teolog Kristen, Dr. Harun Hadiwiyono, Rektor Sekolah Tinggi Theologia “Duta Wacana” di Yogyakarta sebagai berikut:
“Sebenarnya agama Hindu itu bukan agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu sebenarnya adalah satu bidang keagamaan dan kebudayaan, yang meliputi jaman sejak kira-kira 1500 S.M hingga jaman sekarang. Dalam perjalanannya sepanjang abad-abad itu, agama Hindu berkembang sambil berobah dan terbagi-bagi, sehingga agama ini memiliki ciri yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan, tetapi kadang-kadang tidak diindahkan sama sekali. Berhubung karena itu maka Govinda Das mengatakan bahwa agama Hindu itu sesungguhnya adalah satu proses antropologis, yang hanya karena nasib baik yang ironis saja diberi nama agama.”
Samawi artinya langit. Agama samawi adalah agama yang berasal dari Tuhan (yang duduk di kursinya di langit ketujuh, Sky god, kata Gore Vidal). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam bab Keempat dengan judul “Agama Islam adalah Agama Samawi Terakhir” Rasjidi dengan jelas menunjukkan atau menempatkan Islam sebagai puncak dari agama langit. Hal ini dapat dipahami karena Rasjidi bukan saja seorang guru besar tentang Islam, tetapi juga seorang Muslim yang saleh. Bahkan dengan doktrin mansukh, pembatalan, para teolog dan ahli fikih Islam mengklaim, Qur’an sebagai wahyu terakhir telah membatalkan kitab-kitab suci agama-agama sebelumnya (Torah dan Injil).
Bila Tuhan yang diyakini oleh ketiga agama bersaudara ini adalah satu dan sama, pendangan para teolog Islam adalah logis. Tetapi disini timbul pertanyaan, apakah Tuhan menulis bukunya seperti seorang mahasiswa menulis thesis? Sedikit demi sedikit sesuai dengan informasi yang dikumpulkannya, melalui percobaan dan kesalahan, perbaikan, penambahan pengurangan, buku itu disusun dan disempurnakan secara perlahan-lahan?
Tetapi ketiga agama ini tidak memuja Tuhan yang satu dan sama. Masing-masing Tuhan ketiga agama ini memiliki asal-usul yang berbeda dan karakter yang berbeda. Yahweh berasal dan ajudan dewa perang, yang kemungkinan berasal dari suku Midian, dan dijadikan satu-satunya Tuhan orang Israel oleh Musa. Jesus salah seorang dari Trinitas, adalah seorang pembaharu agama Yahudi yang diangkat menjadi Tuhan oleh para pendiri Kristen awal. Allah adalah dewa hujan yang setelah digabung dengan dewa-dewa lain orang Arab dijadikan satu-satunya tuhan orang Islam oleh Muhammad. Jadi Yahweh, Trinitas dan Allah adalah tuhan-tuhan yang dibuat manusia. 2) (Lihat Karen Amstrong: A History of God).
Dan karakter dari masing-masing Tuhan itu sangat berbeda. Ketiganya memang Tuhan pencemburu, tetapi tingkat cemburu mereka berbeda. Yahweh adalah Tuhan pencemburu keras, gampang marah, dan suka menghukumi pengikutnya dengan kejam, tetapi juga suka ikut berperang bersama pengikutnya melawan orang-orang lain, seperti orang Mesir, Philistin dan Canaan. Jesus juga Tuhan pencemburu, tapi berpribadi lembut, ia memiliki banyak rasa kasih, tetapi juga mempunyai neraka yang kejam bagi orang-orang yang tidak percaya padanya. Allah lebih dekat karakternya dengan Yahweh, tetapi bila Yahweh tidak memiliki neraka yang kejam, Allah memilikinya. Di samping itu, bila Yahweh menganggap orang-orang Yahudi sebagai bangsa pilihannya, Allah menganggap orang-orang Yahudi adalah musuh yang paling dibencinya.
Jadi jelaslah di langit-langit suci agama-agama rumpun Yahudi ini terdapat lima oknum Tuhan yang berbeda-beda, yaitu Yahweh, Trinitas (Roh Kudus, Allah Bapa dan Tuhan Anak atau Jesus) dan Allah Islam. Masing-masing dengan ribuan malaikat dan jinnya.
Pengakuan terhadap Tuhan yang berbeda-beda tampaknya bisa menyelesaikan masalah soal pembatalan kitab-kitab atau agama-agama sebelumnya oleh agama-agama kemudian atau agama terakhir. Masing-masing Tuhan ini memang menurunkan wahyu yang berbeda, yang hanya berlaku bagi para pengikutnya saja. Satu ajaran atau satu kitab suci tidak perlu membatalkan kitab suci yang lain.
Tetapi disini timbul masalah lagi. Bagaimana kedudukan bagian-bagian dari Perjanjian Lama yang diterima atau diambil oleh Perjanjian Baru? Bagaimana kedudukan bagian-bagian Perjanjian L ama dan P erjanjian B aru yang terdapat di dalam A l-Qur’an? Apakah bagian-bagian itu dipinjam dari Tuhan yang satu oleh Tuhan yang lain, yang ada belakangan? Atau persamaan itu hanya kebetulan? Ataukah para penulis kitab-kitab yang belakangan meminjamnya dari penulis kitab-kitab terdahulu?
Pembagian agama menjadi agama bumi dan agama langit, dari sudut pandang Hindu sebenarnya tidak menjadi masalah. Ini terkait dengan konsep ketuhanan dari masing-masing agama. Agama-agama Abrahamik atau Rumpun Yahudi (nama yang lebih tepat daripada “agama langit”) memandang Tuhan sebagai sosok berpribadi, seperti manusia, yang berdiam di langit (ke tujuh) duduk di atas kursinya, yang dipikul oleh para malaikat. Dari kursinya di langit itu Dia melakukan segala urusan, termasuk antara lain, tetapi tidak terbatas pada, mengatur terbit dan tenggelamnya matahari, “menurunkan” wahyu dan lain sebagainya. Dari segi ini benarlah sebutan “agama langit” itu, karena ajarannya diturunkan oleh Tuhannya yang bermukim nun jauh di langit.
Dalam pandangan agama Hindu, Tuhan bersifat panteistik, yang melingkupi ciptaan (imanen) dan sekaligus di luar ciptaannya (transenden) . Menurut pandangan Hindu, Tuhan tidak saja lebih besar dari ciptaannya, tetapi juga dekat dengan ciptaannya. Kalau Tuhan hanya ada di satu tempat di langit ketujuh, berarti Ia ada di satu noktah kecil di dalam ciptaannya. Oleh karena itu Dia tidak Mahabesar. Agak mirip dengan pengertian ini, di dalam agama Hindu, dikenal ajaran tentang Avatara, yaitu Tuhan yang menjelma menjadi mahluk, yang lahir dan hidup di bumi – seperti Rama dan Krishna – menyampaikan ajarannya di bumi langsung kepada manusia tanpa perantara.
Dari segi ini, dikotomi agama langit dan agama bumi tidak ada masalah. Baru menjadi masalah ketika “truth claim” yang menyertai dikotomi ini. Bahwa agama langit lebih tinggi kedudukannya dari agama bumi; karena agama-agama langit sepenuhnya merupakan bikinan Tuhan, yang tentu saja lebih mulia, lebih benar, dari agama-agama bumi yang hanya buatan manusia dan bahwa oleh karenanya kebenaran dan keselamatan hanya ada pada mereka. Sedangkan agama-agama lain di luar mereka adalah palsu dan sesat.
Pandangan “supremasis” ini membawa serta sikap “triumpalis”, yaitu bahwa agama-agama yang memonopoli kebenaran Tuhan ini harus menjadikan setiap orang sebagai pengikutnya, menjadikan agamanya satu-satunya agama bagi seluruh umat manusia, dengan cara apapun. Di masa lalu “cara apapun” itu berarti kekerasan, perang, penaklukan, penjarahan, pemerkosaan dan perbudakan atas nama agama.
Masalah Wahyu
Apakah wahyu? Wahyu adalah kata-kata Tuhan yang disampaikan kepada umat manusia melalui perantara yang disebut nabi, rasul, prophet. Bagaimana proses penyampaian itu? Bisa disampaikan secara langsung, Tuhan langsung berbicara kepada para perantara itu, atau satu perantara lain, seorang malaikat menyampaikan kepada para nabi; atau melalui inspirasi kepada para penulis kitab suci. Demikian pendapat para pengikut agama-agama rumpun Yahudi.
Benarkah kitab-kitab agama Yahudi, Kristen dan Islam, sepenuhnya merupakan wahyu Tuhan? Bila benar bahwa kitab-kitab ini sepenuhnya wahyu Tuhan, karena Tuhan Maha Tahu dan Maha Sempurna, maka kitab-kitab ini sepenuhnya sempurna bebas dari kesalahan sekecil apapun. Tetapi Studi kritis terhadap kitab-kitab suci agama-agama Abrahamik menemukan berbagai kesalahan, baik mengenai fakta yang diungkapkan, yang kemudian disebut ilmu pengetahun maupun tata bahasa. Berikut adalah beberapa contoh.
Pertama, kesalahan mengenai fakta
Kitab-suci kitab-suci agama ini, menyatakan bumi ini datar seperti tikar, dan tidak stabil. Supaya bumi tidak goyang atau pergi ke sana kemari, Tuhan memasang tujuh gunung sebagai pasak. Kenyataannya bumi ini bulat seperti bola. Dan sekalipun ada banyak gunung, lebih dari tujuh, bumi tetap saja bergoyang, karena gempa.

Kedua, kontradiksi-kontradiksi
Banyak terdapat kontradiksi - kontradiksi intra maupun antar kitab suci - kitab suci agama-agama ini. Satu contoh tentang anak Abraham yang dikorbankan sebagai bukti ketaatannya kepada Tuhan (Yahweh atau Allah). Bible mengatakan yang hendak dikorbankan adalah Isak, anak Abraham dengan Sarah, istrinya yang sesama Yahudi. Sedangkan Qur’an mengatakan bukan Isak, tetapi Ismail, anak Ibrahamin dengan Hagar, budak Ibrahim yang asal Mesir.
Contoh lain. Bible menganggap Jesus sebagai Tuhan (Putra), sedangkan Qur’an menganggap Jesus (Isa) hanya sebagai nabi, dan bukan pula nabi terakhir yang menyempurnakan wahyu Tuhan.
Ketiga, kesalahan struktur kalimat atau tata bahasa
Di dalam kitab-kitab suci ini terdapat doa-doa, kisah-kisah, berita - berita tentang kegiatan Tuhan, mirip seperti berita surat kabar, yang ditulis oleh seseorang (wartawan) atas seseorang yang lain (dari obyek berita, dalam hal ini Tuhan). Lalu ada kalimat yang merujuk Tuhan sebagai “Aku, Kami, Dia, atau nama-namanya sendiri, seperti Allah, Yahweh , dll ”.
Mengapa Tuhan menunjukkan diri-Nya dengan Dia, kata ganti ketiga? Kata - kata atau kalimat-kalimat pejoratif seperti Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui ini pastilah dibuat oleh manusia, sebab mustahil rasanya Tuhan memuji-muji dirinya sendiri.
Keempat, ajaran tentang kekerasan dan kebencian
Di dalam kitab-suci kitab-suci agama-agama langit ini banyak terdapat ajaran-ajaran tentang kebencian terhadap komunitas lain, baik karena kebangsaan maupun keyakinan. Di dalam Perjanjian Lama terdapat kebencian terhadap orang Mesir, Philistin, Canaan dll. Di dalam Perjanjian Baru terdapat ajaran kebencian terhadap orang Yahudi dan Roma. Di dalam Qur’an terdapat ayat - ayat kebencian terhadap orang-orang Yahudi, Kristen dan pemeluk agama - agama lain yang dicap kafir secara sepihak. Pertanyaan atas soal ini, betulkah Tuhan menurunkan wahyu kebencian terhadap sekelompok orang yang memujanya dengan cara berbeda-beda, yang mungkin sama baiknya atau bahkan lebih baik secara spiritual. Bukankah akhirnya ajaran - ajaran kebencian ini menjadi sumber kekerasan sepanjang massa?
Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Bijaksana, Maha Pengasih dan Penyayang menurunkan wahyu kebencian dan kekerasan semacam itu? Di dalam agama Hindu kebencian dan kekerasan adalah sifat-sifat para raksasa, asura dan daitya (demon, devil, atau syaitan).
Di samping hal-hal tersebut di atas, agama-agama rumpun Yahudi banyak meminjam dogma dari agama - agama lain, bahkan dari komunitas yang mereka sebut penyembah berhala atau kafir. Dogma utama mereka tentang eskatologi seperti hari kiamat, kebangkitan tubuh dan pengadilan terakhir dipinjam oleh agama Yahudi dari agama Zoroaster Persia, lalu diteruskan kepada agama Kristen dan Islam. Legenda tentang penciptaan Adam dipinjam dari leganda tentang penciptaan Promotheus dalam agama Yunani kuno. Bagaimana mungkin Tuhan agama langit meminjam ajaran dari agama-agama atau tradisi buatan manusia.
Swami Dayananda Saraswati (1824-1883), pendiri Arya Samaj, sebuah gerakan pembaruan Hindu, dalam bukunya Satyarth Prakash (Cahaya Kebenaran) membahas Al Kitab dan AI-Qur’an masing-masing di dalam bab XI II dan XIV, dan sampai kepada kesimpulan yang negatif mengenai kedua kitab suci ini. Bahwa kedua kitab suci ini mengandung hal-hal yang patut dikutuk karena mengajarkan kekerasan, ketahyulan dan kesalahan. Ia meningkatkan penderitaan ras manusia dengan membuat manusia menjadi binatang buas, dan mengganggu kedamaian dunia dengan mempropagandakan perang dan dengan menanam bibit perselisihan. “
Apa yang dilakukan oleh Swami Dayananda Saraswati adalah kounter kritik terhadap agama lain atas penghinaan terhadap Hindu yang dilakukan sejak berabad-abad sebelumnya oleh para teolog dan penyebar agama lainnya.
Kesimpulan
Tidak ada kriteria yang disepakati bersama di dalam penggolongan agama-agama. Setiap orang membuat kriterianya sendiri secara semena - mena untuk tujuan meninggikan agamanya dan merendahkan agama orang lain. Hal ini sangat kentara di dalam agama-agama missi yang agresif seperti Kristen dan Islam dimana segala sesuatu dimaksudkan sebagai senjata psikologis bagi upaya-upaya konversi dan proselitasi mereka.
Di samping itu tidak ada saksi dan bukti untuk memverifikasi dan memfalsifikasi apakah isi suatu kitab suci betul-betul wahyu dari Tuhan atau bukan? Yang dapat dikaji secara obyektif adalah isi atau ajaran yang dikandung kitab suci - kitab suci itu apakah ia sesuai dengan dan mempromosikan nilai - nilai kemanusiaan, seperti cinta kasih, kesetiaan, ketabahan, rajin bekerja, kejujuran, kebaikan hati atau mengajarkan kebencian dan kekerasan.
Penggolongan agama-agama menjadi agama langit dan agama bumi, jelas menunjukkan sikap arogansi, sikap merendahkan pihak lain, dan bahkan sikap kebencian yang akhirnya menimbulkan kekerasan bagi pihak yang dipandangnya sesat, menjijikan dan tidak bernilai. Di lain pihak peoggolongan ini menimbulkan rasa tersinggung, kemarahan, dan akhirnya kebencian. Bila kebencian bertemu kebencian, hasilnya adalah kekerasan.
Melihat berbagai cacat dari kitab suc i- kitab suci mereka, khususnya ajarannya yang penuh kebencian dan kekerasan, maka isi kitab suci itu tidak datang dari Tuhan, tetapi dari manusia yang belum tercerahkan, apalagi Tuhan- Tuhan mereka adalah buatan manusia.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas disarankan agar dikotomi agama langit dan agama bumi ini tidak dipergunakan di dalam baik buku pelajaran, wacana keagamaan maupun ilmiah. Dianjurkan agar dipergunakan istilah yang lebih netral, yaitu agama Abrahamik dan agama Timur.
Catatan kaki:
1). Prof . DR. H.M. Rasjidi : “Empat Kuliyah Agama Islam pada Perguruan Tinggi” penerbit Bulan Bintang, Jakarta, cetakan pertama, 1974. hal 10) H.M Rasjidi hal 53
2). Lihat Kare n Amstrong : A History of God
3). Swami Dayananda Saraswati Satyarth Prakash (Light of Truth), hal 648.
4). Ibid hal 720.

Selisih faham, prasangka buruk barah kebahagiaan

Oleh Mohd Shahrizal Nasir

Setiap perbalahan sesama manusia perlu diselesai melalui meja rundingan, permuafakatan PEMILIHAN manusia sebagai khalifah di muka bumi dengan tujuan jelas dan membawa tanggungjawab cukup berat. Sebagai khalifah Allah yang bertanggungjawab memastikan kemakmuran bumi dan seluruh penghuninya, kita seharusnya sentiasa menginsafi tugas dipikul itu satu amanah yang jika tidak dilaksanakan dengan baik, pelbagai bentuk masalah pasti akan datang tanpa diundang.

Tanggungjawab khalifah mencakupi pelbagai aspek terutama yang berkaitan hubungan dengan Allah sebagai pencipta yang Maha Agung (al-Khaliq) dan hubungan dengan sesama manusia (al-Makhluq).

Jika dilihat daripada aspek hubungan dengan Allah, jelas bahawa pengabdian diri kepada-Nya menjadi keutamaan kepada manusia, sesuai dengan tanggungjawab sebagai khalifah. Hal ini selaras dengan tujuan utama penciptaan manusia iaitu untuk mengabdikan jiwa dan raga hanya kepada-Nya.

Firman Allah yang bermaksud: "Dan (Ingatlah) Aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadat kepada-Ku." (Surah az-Dzariyaat, ayat 56)
Justeru, segala bentuk hak Allah perlulah dijadikan keutamaan, lebih-lebih lagi ketika bertembung dengan kehendak manusia yang kebiasaannya bersifat keduniaan semata-mata. Semua tindak-tanduk khalifah haruslah mengarah kepada kebaikan serta sentiasa menurut garis panduan al-Quran dan sunnah.
Oleh itu, gesaan sesetengah pihak untuk meminda hukum dan ketetapan dalam al-Quran yang dikira sudah tidak lagi relevan dengan zaman ini, perlulah ditolak dengan cara terbaik supaya hak Allah sentiasa terpelihara.

Jika hubungan dengan Allah sentiasa dijadikan keutamaan, maka terpeliharalah iman daripada segala bentuk anasir jahat yang sentiasa mengarah kepada keburukan dan kejahatan. Malah, keberkatan Allah akan terus dinikmati, kesan daripada keimanan teguh serta jitu kepada-Nya.
Firman Allah yang bermaksud: "Dan jika penduduk negeri itu beriman serta bertakwa, tentulah Kami akan membuka kepada mereka (pintu pengurniaan) yang melimpah ruah berkatnya, dari langit dan bumi." (Surah al-A'raaf, ayat 96)
Menyentuh hubungan sesama manusia pula, Islam menggariskan tatacara dan panduan bagi menjaga hubungan itu. Menerusi hubungan baik sesama manusia, kehidupan di dunia akan disinari cahaya keharmonian dan kebahagiaan.
Baginda Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: "Perbandingan orang mukmin dalam berkasih-sayang mereka, dalam perasaan belas kasihan mereka dan dalam rasa simpati mereka adalah laksana tubuh badan yang satu." (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Jelas setiap individu Muslim itu adalah bersaudara dan saling memerlukan antara satu sama lain. Dalam konteks lebih luas, hubungan antara sesama manusia tidaklah terbatas antara Muslim bahkan Islam menggesa umatnya berbuat baik dan berkasih sayang dengan berlainan agama serta kepercayaan.
Inilah antara keindahan Islam yang ternyata menolak permusuhan dan perbalahan sesama manusia supaya kehidupan di muka bumi sentiasa berada dalam keadaan harmoni dan bahagia. Adalah menyedihkan apabila segelintir kita terus-menerus berada dalam keadaan berselisih faham dan berprasangka buruk.
Sesungguhnya masalah ini jika dibiarkan akan menjadi barah bakal memusnahkan kebahagiaan hidup, malah lebih teruk lagi menjauhkan kita daripada rahmat dan keberkatan Allah. Menjadi tuntutan dalam Islam supaya setiap permasalahan dan perselisihan diselesaikan dengan cara terbaik seperti melalui meja rundingan dan permuafakatan.
Dengan cara itu, titik pertemuan dapat dicari dan jurang perselisihan pendapat dapat dikurangkan. Lebih penting adalah menjamin keberkatan, rahmat dan keredaan Allah terus dinikmati bagi meneruskan kehidupan di dunia penuh cabaran yang saban hari bertukar-ganti.
Hakikatnya setiap perselisihan berlaku sesama manusia, haruslah dirujuk kepada al-Quran dan sunnah. Firman Allah yang bermaksud: "Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (sunnah)." (Surah an-Nisa', ayat 59)
Sebagai ummah terbaik, kita seharusnya sentiasa bersikap positif dan bersangka baik sesama manusia. Jika ada perkara belum diketahui kebenarannya, maka selidik dengan teliti. Hanya dengan itu kita dapat menjauhkan diri daripada terus berprasangka buruk.
Firman Allah yang bermaksud: "Wahai orang beriman! Jauhilah kebanyakan daripada sangkaan kerana sesungguhnya sebahagian sangkaan itu adalah dosa." (Surah al-Hujuraat, ayat 12)
Marilah kita bertekad untuk sentiasa memelihara hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Semoga kita tidak tergolong di kalangan manusia yang dimurkai Allah dan ditimpa kehinaan kerana tidak mementingkan hubungan itu.
Firman Allah yang bermaksud: "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia." (Surah Ali-Imran, ayat 112)

Apa Ertinya Kita Menganut Islam?

Ingatlah firman Allah yang berbunyi:

"Dia telah memilih kamu dan Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama satu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamakan kamu sekalian orang-orang Muslimin dahulu dan (begitu pula) dalam Al-Quran ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas kamu dan supaya kamu menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah solat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu kepada (tali) Allah, Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong." (Surah Al-Hajj: ayat 78)

Saya Mestilah Muslim di Sudut Aqidah:

Aqidah yang benar dan sah adalah menjadi syarat pertama kepada pengakuan seseorang yang telah menerima Islam sebagai agama yang mengatur hidupnya. Aqidah tersebut mestilah sejajar dengan apa yang telah termaktub dalam kitab Al-Quran dan sunnah Rasulullah s.a.w. Saya mestilah beriman dan mempercayai perkara yang telah diimani dan dipercayai oleh para salafussoleh dan para imam yang telah terbukti kebajikan, kebaikan, ketaqwaan dan kefahaman mereka yang tepat dan benar terhadap Islam.

Untuk menjadikan aqidah saya benar-benar diiktiraf sebagai aqidah seorang Muslim saya mestilah:

1. Mengimani dan meyakini bahawa pencipta alam sejagat ini ialah Allah yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui dan tidak memerlukan pertolongan orang lain. Kesemua ini dapat dibuktikan melalui keindahan, kerapian dan keselarasan alam ciptaan Allah, yang mana setiap unit alam ciptaan Allah ini memerlukan unit yang lain untuk menjamin kewujudan dan kestabilannya. Satu unit daripada kejadian alam ini tidak mungkin wujud dalam keadaan yang stabil tanpa kewujudan unit yang lain.

Kewujudan alam yang seindah dan sekemas ini tidak akan terjamin keselamatan dan kesejahteraannya tanpa tadbir dari Allah yang Maha Berkuasa. Dalam hubungan ini Allah telah berfirman:

"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain daripada Allah, tentulah keduanya itu telah rosak binasa, maka Maha Suci Allah yang mempunyai arasy daripada apa yang mereka sifatkan." (Surah Al-Anbiyaa': ayat 22)

2. Saya mestilah mengimani dan meyakini bahawa Allah tidak menciptakan alam ini tanpa tujuan atau untuk bermain-main sahaja, kerana perbuatan sia-sia dan main-main yang tidak mempunyai tujuan itu tidak layak bagi Allah yang bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan.

Matlamat dan tujuan Allah menciptakan alam ini sukar difahami secara terperinci kecuali melalui seseorang rasul yang diutuskan Allah atau melalui wahyu Allah. Dalam hubungan ini Allah berfirman:

"Maka apakah kamu mengira bahawa sesungguhnya Kami menciptakan kamu untuk bermain-main (sahaja) dan bahawa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami, maka Maha Suci Allah raja yang sebenarnya tiada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) arasy yang mulia." (Surah Al-Mukminun: ayat 115-116)

3. Saya mestilah mengimani dan meyakini bahawa Allah telah mengutuskan para rasul dan menurunkan kitab Allah untuk mengajar manusia mengenal Allah dan memberitahu mereka tentang matlamat kewujudan mereka di dunia ini dan ke mana akhirnya penghidupan mereka. Saya mestilah beriman bahawa Nabi Muhammad s.a.w. adalah rasul yang terakhir dari para rasul yang diutuskan Allah. Beliau telah dibantu dan diperkuatkan Allah dengan Al-Quran sebagai mukjizat yang kekal abadi.

Dalam hubungan ini Allah berfirman:

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutuskan rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) `Sembahlah Allah (sahaja) dan jauhilah thaghut itu'. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya." (Surah An-Nahl: ayat 36)

Kekuatan akidah halang keruntuhan akhlak

Oleh : Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang

Hari ini umat Islam disibukkan dengan isu keruntuhan akhlak muda-mudi. Adakah ia benar-benar berlaku di dalam masyarakat? Ya, memang berlaku, bahkan sampai ke peringkat boleh menggugat keutuhan peribadi umat Islam keseluruhannya.

Pada hari ini, kita sering mendengar berita tentang anak-anak yang tidak menghormati ibu bapa, bahkan sampai ke peringkat mencedera dan membunuh mereka. Berlakunya gejala pergaulan bebas di antara lelaki dan perempuan sehingga melahirkan anak luar nikah, remaja dirosakkan oleh bahan-bahan yang membahayakan tubuh badan seperti dadah, ganja, gam, ubat batuk dan sebagainya, bahkan kita sudah mendengar ada kanak-kanak sekolah yang mencederakan rakan sekolah dan kejadian melawan guru sehingga mahu membakar rumah guru dan sekolah, bukanlah suatu yang pelik pada hari ini.

Di manakah silapnya apabila pemuda pemudi menjadi rosak akhlaknya? Banyak jawapan yang boleh diberikan. Semua jawapan tersebut berkaitan di antara satu sama lain dan bantu membantu ke arah kerosakan akhlak remaja hari ini.

Asas pendidikan remaja adalah di rumah. Sekiranya di rumahnya sendiri mereka tidak mendapat asas pendidikan, maka apabila berada di luar rumah sudah tentu payah untuk membentuk peribadi Muslim yang sejati kerana godaan dan pancaroba di luar sana seperti pergaulan dengan rakan-rakan yang jahat, pergaulan bebas, hiburan yang melalaikan dan sebagainya adalah lebih hebat dan mencabar. Hanya mereka yang mempunyai asas pendidikan Islam dan diwarnai oleh akhlak yang murni yang berpeluang untuk selamat, namun bukan sedikit yang tercicir di pertengahan jalan.

Oleh itu, ajaran Islam telah menentukan cara untuk melahirkan rumah tangga Islam yang sejati, yang akan menumbuhkan tunas-tunas Islam, yang mampu tumbuh menjalar dan membesar dengan sempurna, tidak mampu dihalang dan dicantas oleh gejala maksiat yang bersimpang siur, kiri dan kanan, akan lahirlah pemuda-pemuda dan generasi sebagaimana firman Allah (maksudnya): Mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, maka kami (Allah) menambahkan kepada mereka dengan hidayah. (Al-Kahfi: 13)

Untuk melahirkan rumah tangga Islam yang sejati, di dalamnya terpancar kecantikan ajaran Islam, maka asas perkahwinan mestilah dibina di atas cita-cita Islam, bukan sekadar untuk memenuhi hawa nafsu. Biarlah pasangan yang mahu berkahwin itu berniat daripada perkahwinan mereka untuk melahirkan zuriat keturunan yang baik yang akan meramaikan umat Nabi Muhammad s.a.w. yang akan dibanggakan oleh Nabi s.a.w. di hadapan para nabi dan rasul yang lain, bukan sahaja kerana jumlahnya yang ramai tetapi juga kerana mereka patuh dan tunduk kepada ajaran Allah SWT.

Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka yang berkeinginan mendirikan rumah tangga mestilah membuat pilihan pasangan masing-masing melalui kaca mata Islam, bukannya melalui kaca mata nafsu dan bisikan syaitan.

Di dalam satu hadis Rasulullah s.a.w. memberitahu bahawa seseorang perempuan yang dipilih untuk dijadikan isteri berdasarkan empat sifat: kerana kekayaannya, kecantikannya, keturunannya dan agamanya. Sekiranya semua sifat tersebut tidak ada pada diri seseorang perempuan itu kecuali agamanya, maka sifat beragamanya yang mesti menjadi pilihan.
Pada hari ini, kaum lelaki yang ingin berkahwin dan ibu yang hendak mengahwinkan anak perempuan mereka tidak lagi memberi perhatian terhadap sifat beragama dan berakhlak. Perempuan yang mahu dikahwini itu mungkin dikenali di pusat membeli-belah atau di perhentian bas, di tepi pantai atau di dalam surat khabar melalui iklan mencari jodoh. Mereka menjadikan artis, penyanyi dan pelakon sebagai contoh isteri solehah sedangkan artis itulah perosak utama muda-mudi Islam pada hari ini kerana pakaian dan fesyen mereka menjadi ikutan di kota-kota dan pedalaman.

Sementara ibu bapa pula menerima sahaja lamaran untuk meminang anak gadis mereka tanpa menyelidiki sama ada teruna itu sembahyang, puasa menutup aurat atau tidak. Kita bimbang sekiranya anak gadis kita yang asalnya beragama, menutup aurat, sembahyang dan berakhlak mulia, apabila jatuh ke tangan lelaki yang tidak setia kepada agamanya akan membawa fitnah kepada anak gadis kita.

Islam juga mewajibkan ibu bapa mendidik anak dengan pendidikan Islam, mengajar mereka mengenal Tuhan sekalian alam iaitu Allah SWT, mengajar mereka perangai yang baik, akhlak dan kesopanan, mengajar mereka batas-batas halal dan haram dan bersikap tegas kepada anak-anak sekiranya ada timbul bibit-bibit untuk cenderung kepada kejahatan sebelum nasi menjadi bubur.

Firman Allah (maksudnya): Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kamu dan ahli keluarga kamu daripada azab api neraka, bahan bakarnya terdiri daripada manusia dan batu, penjaganya adalah malaikat yang kasar lagi bengis, mereka tidak melanggar perintah Allah ke atas mereka dan mereka lakukan apa yang disuruh. (At-Tahrim: 6)

Allah Taala memerintahkan supaya setiap orang Islam berusaha menyelamatkan diri masing-masing dan ahli keluarga daripada azab api neraka. Bagaimanakah caranya? Caranya ialah dengan beramal menurut ajaran Islam. Suami hendaklah memastikan isteri masing-masing patuh kepada ajaran Islam pada perbuatan, percakapan, berpakaian dan melakasakan apa yang diwajibkan oleh Allah Taala dan meninggalkan apa yang dilarang.

Ibu bapa hendaklah sentiasa memerhatikan tingkah laku anak-anak mereka. Menjadi kewajipan untuk bertanya ke manakah mereka keluar, dengan siapa, bila akan pulang dan pelbagai soalan berkaitan. Jangan membiarkan anak-anak melakukan apa yang mereka suka walaupun melanggar batas agama.

Betapa ramai anak-anak yang tidak bersembahyang kerana berkawan 24 jam, pulang ke rumah untuk tidur dan makan. Betapa ramai anak-anak yang terjebak dengan ketagihan dadah dan ganja, pil khayal dan ubat batuk kerana terpengaruh dengan kawan-kawan. Pada asalnya cuma untuk cuba-cuba tetapi apabila sudah ketagih tidak lagi pulang ke rumah siang dan malam.
Anak-anak gadis sudah pandai berkawan dengan lelaki walaupun masih bersekolah menengah. Anak gadis diarak ke hulu ke hilir dengan motosikal oleh lelaki yang bukan suaminya, sudah menjadi perkara biasa di dalam masyarakat. Ibu bapa tidak lagi mampu berbuat apa-apa, sekadar memerhatikan sahaja gelagat anak muda mereka.

Anak pinak adalah harta penting yang dikurniakan oleh Allah. Jika seseorang itu bekerja bersungguh-sungguh untuk mencari sesuap nasi sedangkan rezeki esok hari belum dapat dipastikan lagi, mengapakah kita mensia-siakan rezeki yang dikurniakan oleh Allah yang berupa anak sedangkan anak itu sendiri akan menjadi pesaka yang amat berharga apabila mati kelak, sekiranya anak itu menjadi anak yang soleh.

Sabda Nabi s.a.w. (maksudnya): Apabila mati anak Adam, maka putuslah amalannya kecuali daripada tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang memberi manfaat dan anak yang soleh yang mendoakan untuknya.

Marilah sama-sama kita kembali kepada ajaran Islam di dalam membina rumah tangga. Suami yang baik dijadikan untuk isteri yang baik, akan melahirkan pula anak-anak yang soleh, yang akan menjadi harta yang tidak ada galang ganti, bermanfaat semasa hidup dan sesudah mati. Itulah benteng yang yang paling kukuh untuk menghadapi kerosakan akhlak muda mudi masa ini.